Usai Pilpres 2019, Mampukah Jokowi Menangani Islam Garis Keras ?

Fokustoday.com- Jakarta, 25 April 2019

Meski-Unggul-dalam-Survei-Jokowi-Gunakan-Cara-yang-Salah-untuk-Menang-1-1-768x542

Tantangan Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin Hadapi Islam Garis Keras

Kemarahan Muslim garis keras atas kasus penistaan agama mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama masih masih menghantui Pilpres 2019. Mampukah capres terpilih Joko “Jokowi” Widodo memulihkan Islam yang ramah dan toleran di masa jabatan kedua? Sebagian besar pemilih yang ditemui pemilih di Indonesia sepertinya mengharapkan hal tersebut dari sang presiden terpilih.

Setelah Pilpres 2019 berlangsung lancar hari Rabu (17/4) lalu, hasil resminya belum akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga tanggal 22 Mei 2019. Sementara itu, hasil penghitungan cepat berbagai lembaga survei yang biasanya akurat menunjukkan bahwa kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo kemungkinan besar akan memenangkan lima tahun masa jabatan kedua.

Skala pemilihan dan fakta bahwa Pileg dan Pilpres 2019 berhasil diselenggarakan secara serentak dalam satu hari merupakan prestasi luar biasa. Lebih dari 150 juta warga negara Indonesia datang ke tempat pemungutan suara (TPS), menunjukkan 80 persen partisipasi pemilih, yang tersebar di tiga zona waktu di negara yang luas dengan lebih dari 17.000 pulau untuk memilih kandidat presiden, wakil presiden, serta anggota parlemen nasional dan regional.

Pilpres 2019 kembali mempertemukan kedua kandidat dalam Pilpres 2014: capres petahana Jokowi dan capres oposisi Prabowo Subianto, jenderal purnawirawan dan mantan menantu diktator Orde Baru Suharto.

Sebagian besar jajak pendapat sebelum pemungutan suara menunjukkan bahwa Jokowi unggul atas Prabowo. Satu-satunya pertanyaan ialah tentang seberapa besar margin kemenangan Jokowi. Terlepas dari mayoritas hasil penghitungan cepat yang menunjukkan kemenangan Jokowi, Prabowo dan tim kampanyenya telah mengklaim kemenangan dalam Pilpres 2019. Mereka tampaknya akan menggugat gasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi seperti pada Pilpres 2014.

Untuk mencegah protes massa oleh kelompok Islam garis keras yang mendukung Prabowo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dan Kapolri Tito Karnavian telah memperingatkan bahwa pasukan keamanan akan bertindak tegas terhadap setiap upaya untuk mengganggu ketertiban umum. Lagipula, protes massa kemungkinan belum akan dilakukan untuk saat ini.

Peringatan yang tidak terselubung tersebut menarik perhatian pada aspek khas pemilu 2019: peran Islam dan bagaimana hal itu telah memengaruhi politik dan pemerintahan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Politik Islam telah menjadi perhatian utama sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945. Setelah menolak tuntutan ulama Islam yang menginginkan Indonesia agar menjadi negara Islam yang menganut hukum syariah, bapak pendiri bangsa sekaligus presiden pertama Sukarno (1945-1966) memilih Pancasila sebagai dasar negara yang lebih sekuler dan inklusif.

Di bawah Suharto (1967–1998), kebijakan tersebut berlanjut dan pemerintahannya memelihara bentuk Islam yang lebih toleran, dengan sinkretisme baru yang berkembang di masyarakat.

Namun, dalam dua dekade terakhir, dengan konsolidasi etos demokrasi yang lambat tapi stabil di Indonesia, identitas Islam yang lebih tegas telah terlihat dan telah bermain kuat dalam konteks politik domestik. Peristiwa global seperti berakhirnya perang dingin, serangan 11 September 2001, serta penyebaran ideologi jihad dan terorisme terkait telah berdampak pada masyarakat Indonesia.

Di era pasca-Soeharto dalam politik Indonesia, yang dikenal sebagai Reformasi, Islam bangkit sebagai penentu yang signifikan. Namun, gerakan ini terbatas pada partai-partai politik nasionalis yang mengakui Islam tetapi menempatkannya dalam kerangka inklusif Pancasila. Manifestasi dari hal ini ialah pemilihan Abdurrahman Wahid, pemimpin organisasi Islam Sunni tradisional Nahdlatul Ulama (NU), sebagai presiden keempat Indonesia (1999-2001).

Insiden yang lebih menentukan adalah kasus penistaan agama yang menimpa mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang masih membentuk strategi politik dalam Pilpres 2019. Tahun 2016, protes massa terhadap politisi keturunan Tionghoa-Kristen tersebut melumpuhkan Jakarta. Demonstran menuduh BTP menistakan ayat al-Quran selama pidato kampanye bulan September 2016 menjelang Pilkada Jakarta 2017.

Fakta bahwa BTP beragama Kristen mungkin memperburuk sentimen umat Muslim garis keras, tetapi permainan oportunistik Islam jelas terbukti. Sebuah protes massa tanggal 2 Desember 2016 yang dijuluki Gerakan 212 mempertemukan berbagai kelompok Islam garis keras. Tak lama kemudian, BTP, mantan sekutu Jokowi, terasing secara politis dan kalah dalam pilkada. Tunduk pada tekanan publik, BTP dijatuhi hukuman penjara dan baru saja dibebaskan menjelang Pilpres 2019.

Namun efek demonstrasi Gerakan 212 masih terlihat dalam Pilpres 2019. Dengan harapan memperkuat dukungan dari basis Muslim nasionalis moderat, Jokowi memilih Ma’ruf Amin, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai cawapres mendampinginya. Perlu diingat bahwa Ma’ruf Amin telah mengeluarkan fatwa yang melawan BTP dalam persidangan.

Muslim Indonesia berdemonstrasi menentang Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, di luar parlemen. Foto: AFP

Faktor demonstrasi menuntut BTP juga telah mempengaruhi kampanye Prabowo, yang menggalang dukungan dari kelompok Islam garis keras. Menjelang Pilpres 2019, pemilih seringkali dibuat bingung melihat kedua kandidat presiden yang masing-masing berusaha memproyeksikan citra dirinya sebagai Muslim yang lebih saleh dan membingkai lawannya sebagai yang kurang saleh.

Awal tahun 2019, novelis Indonesia pemenang penghargaan Eka Kurniawan berpendapat bahwa terlepas dari kandidat mana yang akan memenangkan pilpres, dia yakin bahwa “kaum Islamis telah menang.”

Setelah menghabiskan waktu di Indonesia selama pekan pemilu, penulis merasa bahwa sebagian besar masyarakat memandang Pilpres 2019 telah usai dan berharap Jokowi yang terpilih kembali akan menangani kelompok Islam garis keras. Tapi beberapa perpecahan politik selama masa kampanye masih tetap ada. Demikian juga dengan kegelisahan tentang kekuatan massa kelompok Islamis yang mengancam akan turun ke jalan. Namun, jalan menuju kemenangan mereka mungkin akan tertunda hingga lima tahun selanjutnya dalam Pilpres 2024. Indonesia tampaknya belum akan berubah menjadi Pakistan berikutnya.

Akankah Jokowi menggunakan masa jabatan kedua dan terakhirnya untuk memulihkan Islam yang ramah dan toleran? Jawabannya masih banyak diperdebatkan. Tetapi keberagaman agama dalam kerangka demokratis akan dipertaruhkan dalam periode kedua kepresidenan Jokowi di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pada akhirnya, persatuan Indonesia harus menjadi pemenang paripurna usai Pilpres 2019. (ft/des)

Oleh: C. Uday Bhaskar  (South China Morning Post)

Tinggalkan komentar